Renungan dari Dualisme Respon Manusia Asrama Dalam Menjawab Panggilan Adzan.
(Kehidupan Berasrama SMANU MH.Thamrin)
Tulisan ini tidak berusaha mengangkat masalah kehidupan berasrama secara teoritis tetapi menitikberatkan kepada identifikasi masalah dengan menggunakan lensa berfikir yang berbeda. Di sini akan nampak bahwa kehidupan beribadah di lingkungan asrama bukan saja perihal formalitas yang dilakukan berulang, melainkan suatu fenomena berkihidupan yang dapat diambil hikmahnya. Penulis berharap hikmah dari fenomena kecil ini dapat menjadi referensi dan pengingat bagi fenomena-fenomena besar yang akan datang.
(Penggambaran)
Langit menggelap dan matahari sudah mulai berpamitan dengan atap-atap asrama. Suara adzan ekslusif dari tanah suci yang disalurkan melalui pengeras suara asrama mulai terdengar dan disusul oleh kumandang adzan samar-samar dari utara lapangan sepakbola. Segenap manusia (rombongan pertama) dengan kain menutupi kaki, baju koko putih dan mukena yang bermotif melangkah menjawab panggilan tersebut. Ketenangan suasana ini mendorong mereka untuk bersiap menghadap dan bercerita kepada Sang Pencipta perihal kesedihan hari ini maupun harapan hari esok. Dialog-dialog antar individu dalam perjalanan menuju masjid telah mengsi ruang ruang kebahagiaan pada sel sel otak, ruang-ruang itulah yang kini menjadi investasi ingatan indah dalam berspiritual.
Di lain sisi, segelintir manusia lain (rombongan kedua) masih berdialog dengan pulau kapuk maupun berjihad di medan pertempuran bersama “pahlawan mobile”. Segelintir orang ini dikenal sebagai manusia taat dan memiliki rasa takut. Mereka taat pada “pahlawan mobile” dan pulau kapuk tetapi takut oleh Bos Asrama Putra beserta Guru Besarnya. Perlu dicatat juga, mereka merupakan kelompok yang setia menunggu pada seruan kedaruratan dari Bos Asrama. Seruan kedaruratan adalah seruan sakti yang jika terdengar dapat mengganggu keharmonisan sel sel telinga dengan mudah. Suara adzan jika dibandingkan seruan kedaruratan tidak bisa berbuat lebih dalam membuat jiwa manusia tersebut bangkit keluar kamar asrama. Merebahnya seruan kedaruratan yang tercipta dari pertemuaan kayu dan bamboo pada senjata Bos Besar bernama “kretekan” ke kamar-kamar menandakan akhir periode menunggu dan awal kebangkitan jiwa untuk menjawab panggilan Tuhan. Dengan sadar dan tidak sadar, mereka akan bangkit dan pergi menuju rombongan pertama yang sudah sampai dan mulai berdialog dengan Tuhan di masjid. Walaupun pada kenyataannya, masih ada 1–2 individu yang masih memegang teguh loyalitas mereka pada pulau kapuk dan “pahlawan mobile”.
(Interpretasi)
Melihat kembali dualisme ini tentu saja kita dapat memakai lensa berfikir agama dan bersikap mengidealisasikan rombongan pertama dalam menjawab panggilan Tuhan. Akan tetapi, ketika lensa itu diganti dengan lensa pembaca sebab akibat, maka kita dapat melihat kebelakang pengalaman-pengalaman pribadi mereka yang menyebabkan terjadinya dualisme ini.
Pada dasarnya, ketika masa-masa awal masuk asrama , tidak terdapat segregasi bersikap dalam menjawab panggilan Tuhan. Walaupun secara batin tidak semua ingin bangkit menjawab panggilan Tuhan , akan tetapi secara lahiriah mereka mampu bergerak menjawab panggilan tersebut tanpa melakukan penundaan. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Mari kita menganalogikan mereka (manusia asrama) sebagai penumpang yang berlayar
Manusia asrama seperti penumpang perahu yang berlayar di laut lepas, tanpa kompas tanpa peta dan tidak tahu cara berlayar. Kadang-kadang mereka dibuat bingung oleh bintang (panutan) yang telah lama muncul sebagai penunjuk arah tetapi seketika hilang. Inkonsistensi bintang dalam memberi tujuan berimplikasi terhadap cara mereka berlayar. Dari sebagian mereka ada yang berlayar dengan megingat posisi bintang dan dapat menahan diri dari rasa kekecewaan terhadap inkonsistensi bintang. Sebagian lainnya melakukan improvisasi dalam berlayar yang berakar pada kekecewaan akan inkonsistensi bintang. Kadang kala, improvisasinya ini tidak berujung keselamatan dalam berlayar.
Dengan melihat analogi tersebut, kita dapat merenung sejenak dan bertanya kepada diri sendiri.
Apakah kita hidup di asrama hanya sebagai penumpang perahu berlayar ? Atau kita juga melaukan peran ganda sebagai bintang?
Jika kita menyadari bahwa kita berperan ganda, maka introspeksilah. Dengan mengintrospeksi diri, kita dapat merubah cara berfikir. Perubahan dari cara berfikir subjektif (lensa kecil) ke objektif (lensa besar). Dengan merubah cara berfikir, kita dapat melihat bahwa diri kita tidak selalu benar melainkan pasti pernah menjadi produsen kesalahan. Walaupun kita tidak menyadari bahwa kita pernah menjadi produsen kesalahan, meraka di luar sana sah-sah saja untuk memotret kita dan jidadikannya referensi.
(Solusi)
Oleh karena itu, solusi konkret untuk menyelesaikan hal ini adalah sebagai berikut.
Bagi generasi yang sudah lulus dar asrama dapat menyerukan kepada generasi selanjutnya agar bisa konsisten sebagai bintang (exemplary center) bagi teman-teman di sekitarnya. Karena masing-masing individu adalah exemplary center bagi individu lain. Bagi generasi yang masih di lingkungan asrama untuk tetap konsisten pada aturan dan norma yang berlaku di asrama. Karena pada dasarnya, lakukanlah apa yang kalian mau lakukan tetapi jangan melupakan apa yang Tuhan ajarkan. Jika hal ini diterapkan dan sudah menjadi sistem yang kuat secara horizontal dan vertical, maka kehidupan beribadah di lingkungan asrama dapat dimaknai lebih dari sekadar formalitas biasa yang membosankan. Kehidupan beribadah dapat menjadi investasi ingatan dan kenangan indah dalam berspiritual yang nantinya bisa dibangkitkan menjadi semangat melakukan aktivitas yang serupa.
Terimakasih.
Matur suwun lur
-Muhammad Haikal Pramono
Cr Photo : Vedhino